Krisis Kesehatan Lingkungan Pasca-Banjir: Dampak Epidemiologis di Desa Soligi dan Wayaloar

Oleh: Hairudin La Patilaiya
Akademisi UMMU Ternate

Jumat, 13 Juni 2025

Oplus_16908288

 

Peristiwa banjir yang melanda Desa Soligi, Kecamatan Obi Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, pada Jumat, 13 Juni 2025, tidak hanya memunculkan kerusakan fisik pada infrastruktur dan lingkungan, tetapi juga menciptakan krisis kesehatan lingkungan yang patut mendapat perhatian serius. Dalam kerangka epidemiologi lingkungan, banjir berperan sebagai katalis yang memperbesar risiko terjadinya penyakit menular berbasis lingkungan, terutama di wilayah pesisir yang memiliki kerentanan sistemik.

Genangan air yang bercampur dengan limbah domestik dan sistem sanitasi yang rusak menjadi media ideal bagi proliferasi agen infeksius seperti bakteri, virus, dan parasit. Hal ini meningkatkan kejadian penyakit seperti diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), leptospirosis, dermatitis, dan demam berdarah dengue (DBD). Pola ini sejalan dengan pendekatan host-agent-environment, di mana terganggunya lingkungan akibat banjir memperkuat interaksi antara patogen dan populasi yang rentan khususnya anak-anak, lansia, serta individu dengan imunitas rendah.

Desa Soligi masih menghadapi tantangan serius dalam pemulihan dan pengelolaan sistem sanitasi dan lingkungan pasca-banjir, yang secara ilmiah berkontribusi terhadap peningkatan risiko penyakit berbasis lingkungan, terutama akibat sistem sanitasi yang belum tahan terhadap bencana hidrometeorologis seperti drainase yang tersumbat, terbatasnya fasilitas MCK darurat, dan terhambatnya distribusi air bersih sementara rendahnya literasi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) turut memperkuat tingkat morbiditas, sehingga dibutuhkan kerja sama lintas sektor, peningkatan kapasitas sumber daya kesehatan, distribusi logistik medis yang lebih cepat, serta sistem deteksi dini yang terintegrasi agar respons terhadap krisis kesehatan dapat lebih efektif, khususnya dalam melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan.

Pendekatan jangka pendek yang dapat dilakukan antara lain penyediaan sarana air bersih dan sanitasi darurat, penguatan layanan kesehatan keliling, serta edukasi langsung kepada warga tentang bahaya dan pencegahan penyakit pasca-banjir. Namun lebih dari itu, dibutuhkan strategi jangka panjang berupa pembangunan infrastruktur sanitasi yang tangguh terhadap bencana, sistem surveilans penyakit berbasis wilayah, serta peningkatan kapasitas kader kesehatan masyarakat dalam konteks tanggap darurat.

Banjir di Desa Soligi harus menjadi peringatan bahwa risiko kesehatan lingkungan merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari bencana alam yang tidak ditangani secara adaptif. Ketahanan kesehatan masyarakat, khususnya di wilayah pesisir, harus menjadi bagian integral dari perencanaan pembangunan desa. Ini mencakup integrasi data risiko dalam tata ruang, kolaborasi lintas sektor, serta pengarusutamaan kesehatan dalam kebijakan pengurangan risiko bencana.

Dengan mempertimbangkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologis akibat perubahan iklim global, pembangunan sistem kesehatan lingkungan yang adaptif dan responsif menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar opsi. Kasus Soligi menegaskan urgensi pendekatan ilmiah, sistemik, dan berbasis bukti dalam menjawab tantangan kesehatan masyarakat pasca-banjir.

Oplus_16908288
Anggota DPRD Kota Ternate

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *