Cengkeh, Kelapa, dan Pala di Persimpangan: Ketahanan Pangan Lokal dalam Tekanan Ekspansi Industri

Oleh: Hairudin La Patilaiya (Akademisi UMMU)

Opini Ilmiah | Kamis, 19 Juni 2025

Oplus_16908288

 

Di tengah derasnya ekspansi industri ekstraktif terutama pertambangan nikel di wilayah kepulauan seperti Halmahera dan sekitarnya, komoditas lokal seperti cengkeh, kelapa, dan pala kini berada dalam posisi yang semakin rentan. Ketiga komoditas ini bukan hanya bernilai ekonomi tinggi, tetapi juga memegang peranan penting dalam sistem pangan lokal, warisan budaya, dan keseimbangan ekologi kawasan. Sebagai tanaman rempah yang telah menjadi bagian integral dari sejarah agrikultur dan identitas masyarakat Maluku Utara, keberadaan mereka kini terancam oleh masifnya konversi lahan dan degradasi lingkungan akibat industrialisasi.

Ketahanan pangan lokal sangat bergantung pada kestabilan sistem produksi tradisional yang berbasis pada sumber daya alam terbarukan, termasuk perkebunan kelapa, cengkeh, dan pala. Namun, peralihan fungsi lahan secara besar-besaran ke sektor industri menyebabkan banyak petani kehilangan akses terhadap tanah yang selama ini menopang kehidupan mereka. Dampaknya tidak hanya terasa pada penurunan kapasitas produksi, tetapi juga pada terputusnya rantai nilai yang menopang ekonomi rumah tangga pedesaan. Bahkan, hasil olahan lokal seperti minyak kelapa, cengkeh kering, dan biji pala, yang selama ini menjadi sumber penghidupan dan ekspor masyarakat, kini terancam keberlanjutannya.

Dalam perspektif ekologi-politik pangan, ketahanan pangan tidak hanya soal ketersediaan makanan, tetapi juga soal kontrol masyarakat atas sumber-sumber produksi, distribusi hasil pertanian, serta keberlanjutan praktik agrikultur. Ketika tanah-tanah produktif beralih menjadi kawasan industri, masyarakat kehilangan otonomi atas sumber pangannya dan semakin bergantung pada suplai dari luar wilayah. Ketergantungan ini menambah lapisan kerentanan, terlebih dalam situasi krisis, konflik distribusi, atau perubahan iklim ekstrem.

Perubahan iklim dan degradasi lingkungan yang menyertai ekspansi industri semakin memperparah ancaman terhadap ketiga komoditas ini. Penurunan kesuburan tanah, erosi, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati menyebabkan produktivitas cengkeh, kelapa, dan pala menurun drastis. Tanpa adanya intervensi kebijakan yang berpihak pada pertanian rakyat baik dalam bentuk perlindungan lahan, pendampingan teknis, maupun adaptasi terhadap perubahan iklim maka sistem pangan lokal akan terus merosot dan bergantung pada impor.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan kebijakan yang mengintegrasikan pembangunan industri dengan pelestarian ketahanan pangan lokal. Pemerintah dan pemangku kepentingan harus menempatkan pertanian berbasis cengkeh, kelapa, dan pala sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan. Ini mencakup perlindungan atas lahan produktif, penguatan posisi tawar petani dalam tata kelola ruang, serta revitalisasi praktik pertanian ekologis berbasis kearifan lokal.

Jika tidak segera diantisipasi, maka bukan hanya cengkeh, kelapa, dan pala yang kehilangan nilai ekonominya. Lebih jauh, kita akan kehilangan salah satu fondasi kedaulatan pangan lokal, sekaligus identitas budaya yang telah melekat dalam sejarah panjang kepulauan Maluku sebagai “lumbung rempah dunia.” Di tengah arus globalisasi industri yang semakin kuat, menjaga ketiga komoditas ini berarti menjaga keberlanjutan hidup dan martabat masyarakat lokal.(***)

Oplus_16908288
Anggota DPRD Kota Ternate

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *